www.masjidnurulfalaah.blogspot.com

Takmir Masjid Nurul Falaah desa Kedungpuji - Gombong, Takmir masjid adalah pelayan ummat - - Takmir Masjid Nurul Falaah desa Kedungpuji - Gombong, Takmir masjid adalah pelayan ummat

Kamis, 08 September 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA BERBASIS MASJID


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA BERBASIS MASJID
Oleh : Bambang Purwanto, S.Ag.

I.  Pendahuluan
       Salah satu tren di era global adalah kemandirian. Bangsa yang mandiri adalah  bangsa yang mampu memenangkan persaingan. Bangsa yang mandiri terbentuk oleh masyarakat mandiri. Tentu dalam mewujudkan kemandirian itu dibutuhkan proses yang panjang. Sebuah proses yang menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan.

       Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah merupakan negara desa dengan jumlah desanya sebanyak  63.000-an desa. Berdasarkan sensus penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 80% tinggal di desa. Gambaran ini mengisyarakatkan bahwa pemberdayaan masyarakat desa perlu mendapat aksentuasi demi tercapainya perataan kemakmuran dan keadilan di seluruh Indonesia.


       Salah satu tempat strategis dalam upaya  pemberdayaan masyarakat desa adalah masjid. Masjid adalah jantung umat. Masjid adalah salah satu pilar meretas kebangkitan umat selain pesantren dan kampus. Keberadaan masjid merupakan poros aktivitas keagamaan di masyarakat. Masjid diharapkan pula menjadi mitra lembaga pendidikan formal (sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap masa depan generasi yang akan datang.
       Jumlah masjid di Indonesia mencapai  800 ribu (Republika, Dialog Jumat 2010, hlm. 4) dan merupakan jumlah terbesar di dunia. Namun bila dicermati, kondisi kaum muslimin saat ini dimana masjid belum difungsikan secara optimal. Alangkah indahnya jika sekitar 800 ribu masjid di Indonesia dapat memberikan jawaban riil atas berbagai permasalahan umat. Setiap kumandang adzan mengalirkan kerinduan umat untuk datang mendekat seperti layaknya fungsi jantung bagi darah. Masjid seharusnya dapat dioptimalkan fungsinya sebagai ruang publik dan pusat peradaban umat.
       Dalam tulisan sederhana ini akan dibahas pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Apa pengertiannya? Bagaimana memaksimalkan fungsi masjid sebagai medium pemberdayaan masyarakat desa? Siapa pelaku dari pemberdayaan masyarakat berbasis masjid itu? Apa tujuan dari usaha tersebut? Ini adalah beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam uraian berikut.
II. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Masjid
        Untuk dapat memahami pengertian dari pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid maka perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pemberdayaan. Menurut Ambar Teguh Sulistiyani secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar ‘daya’ yang berarti kekuatan atau kemampuan. Dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan, dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat seperti yang diungkapkan oleh staf pengajar UGM tersebut intinya meliputi tiga hal, yaitu: pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), terciptanya kemandirian. Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid pengertiannya adalah proses untuk menjadikan masyarakat desa itu mandiri dengan mengambil pusat kegiatan di masjid.
       Yang menarik dari pengertian pemberdayaan tadi adalah disana ada sebuah proses. Pengertian proses itu berarti menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah baik knowledge, attitude, maupun praktik menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan kecakapan-ketrampilan yang baik.
       Dari pengertian di atas maka dapat dirumuskan bahwa pemberdayaan masyarakat berjalan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
1.      Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2.      Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan-pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
3.      Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Selanjutnya dengan memahami pengertian pemberdayaan dan tahapan-tahapannya maka dapat dipahami bahwa tujuan dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian itu meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut.
III. Memaksimalkan Fungsi Masjid Sebagai Medium Pemberdayaan
       Sebelum sampai pada bagaimana memaksimalkan fungsi masjid sebagai medium pemberdayaan maka ada baik dipahami terlebih dahulu pengertian masjid. Secara etimologi menurut Rohadi Abdul Fatah kata masjid artinya adalah tempat sujud dimaksudkan sebagai tempat sholat. Perkataan masjid berasal dari bahasa Arab, kata pokoknya adalah sujjudan, fi’il madinya sajada yang berarti ia sudah sujud. Sedangkan isim makannya adalah masjidan, atau diindonesiakan menjadi masjid. Sedangkan secara terminologi pengertian masjid adalah tempat pembinaan dan perjuangan umat Islam yang efektf dan efisien untuk meninggikan agama Allah.
       Masih menurut Rohadi bahwa terdapat beberapa fungsi, yaitu :
1.      Masjid adalah tempat ibadah (shalat).
2.      Masjid adalah tempat berkumpul umat untuk membicarakan kepentingan bersama.
3.      Masjid adalah tempat akad nikah.
4.      Masjid adalah tempat menginap para musafir yang sedang bepergian jauh.
5.      Masjid adalah pusat  keagamaan dan kenegaraan.
6.      Masjid adalah kubu pertahanan kaum muslimin.
7.      Masjid adalah tempat menuntut ilmu.
8.      Masjid adalah tempat perpustakaan atau gudang ilmu.
9.      Masjid adalah tempat membaca Al-Qur’an.

       Pendapat yang lain tentang fungsi masjid adalah dari KH. Hasan Basri :
1.      Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah.
2.      Masjid adalah tempat kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri dan menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin dan keagamaan sehingga selalu dapat memelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadiannya,
3.      Tempat membina ikatan jama’ah kaum muslimin di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
4.      Tempat majlis ta’lim untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan umat Islam.
5.      Tempat bermusyawarah kaum muslimin dalam memecahkan persoalan-persoalan di masyarakat.
6.      Tempat konsultasi, mengajukan kesulitan serta meminta bantuan dan pertolongan.
7.      Tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pemimpin umat.
8.      Rasulullah pernah mengumpulkan dana, menyimpan harta benda dan membagikannya di masjid.
9.      Rasulullah pernah membuat tenda untuk merawat orang yang luka di samping masjid.
10.  Rasulullah melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial di masjid.
       Menurut M. Natsir fungsi masjid adalah untuk membentuk manusia-manusia yang ingin dirinya itu bersih, dan membersihkan diri tiap-tiap kali dirinya itu disentuh oleh yang kotor.  
       Agar masjid dapat secara maksimal berfungsi baik sebagai tempat beribadah maupun sebagai medium pemberdayaan maka diperlukan para pengurus masjid yang memiliki beberapa syarat. Menurut Rohadi sebagai pengurus masjid hendaknya memiliki syarat-syarat berikut :
1.      Mempunyai watak yang positif yaitu memiliki syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin pada umumnya, terutama memiliki kewibawaan, kecakapan, dan keberanian.
2.      Percaya pada Allah, percaya pada hari akhir, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat serta tidak merasa takut kecuali pada Allah.
3.      Memiliki dan memahami pengetahuan tentang fungsi masjid menurut ajaran Islam serta hatinya cinta kepada masjid.
       Jika mengacu pada konsep managemen masjid dari Kementerian Agama RI bahwa terdapat tiga aspek dalam mengelola masjid secara baik. Yakni aspek idarah (administrasi dan organisasi), aspek imarah (kemakmuran), dan aspek ri’ayah (pemeliharaan sarana dan prasarana). Dengan ketiga aspek tersebut diharapkan masjid dapat menjadi tempat yang kondusif bagi upaya-upaya penguatan masyarakat baik secara sosial-ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Memang untuk mewujudkan sebuah masjid dengan fungsinya yang maksimal dibutuhkan sumberdaya manusia yang kompeten dan rela untuk berkhidmat dalam pelayanan kepada umat melalui masjid, aliran dan dana yang lancar, dan dukungan semua pihak untuk merealisasikan usaha mulia tersebut.
IV. Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Masjid
       Dalam setiap kegiatan yang dilakukan secara bersama tentu melibatkan banyak pelaku. Demikian pula dalam pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Para pelaku didalamnya antara lain adalah masyarakat (jamaah masjid), dunia usaha, dan pemerintah desa (pemdes).
       Memang tidak dipungkiri bahwa sementara ini sebagian anggota masyarakat dan elitnya yang nota bene mayoritas beragama Islam masih berpikir sekular. Dibuktikan dengan menjadikan masjid hanya sebagai tempat ibadah semata. Padahal fungsi masjid yang seharusnya lebih dari itu. Yakni masjid juga harus berfungsi sosial. Jadi secara real dinamika masjid bukan hanya diisi oleh pelaksanaan shalat dan bentuk-bentuk upacara keagamaan yang lain tetapi masjid juga sebagai tempat untuk meningkatkan kualitas umat baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya. Di sinilah dapat dipahami bahwa pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid merupakan sebuah keniscyaan.
       Pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid merupakan sebuah kerja besar. Sehingga harus mendapat dukungan semua pihak yang ada di desa untuk dapat berjalan secara baik. Pelaku yang pertama adalah masyarakat itu sendiri. Karena merekalah yang menjadi subyek sekaligus obyek dari kegiatan tersebut. Dari masyarakatlah akan tampil kader-kader umat yang dapat berkhidmat untuk melayani umat melalui masjid. Dan dukungan mereka akan menghasilkan perubahan yang signifikan di tengah masyarakat seiring dengan proses pemberdayaan yang sedang berlangsung. 
       Disamping masyarakat itu sendiri maka unsur yang lain adalah pemerintah desa. Mereka ini adalah birokrasi yang paling rendah dan langsung berhadapan dengan dinamika masyarakat. Dukungan dari pemdes dalam bentuk regulasi dan juga aliran dana. Sehingga di desa akan dapat melahirkan perdes-perdes yang dapat membuka selebar-lebarnya praktek budaya masyarakat yang baik dan menutup rapat-rapat praktek budaya masyarakat yang buruk.
       Pihak yang tidak bisa ditinggalkan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis masjid adalah dunia usaha. Karena dari merekalah baik dukungan SDM yang berkualitas maupun aliran dana yang lancar dapat diharapkan. Mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan ekonomi umat. Sehingga masyarakat  minimal dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik.   
V. Menuju Qaryah Thayyibah
       Qaryah thayyibah hendaknya menjadi visi dari usaha pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Artinya orientasi dari proses pemberdayaan tersebut jelas dan dapat dipahami oleh para pelakunya. Bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan tersebut mengarah pada terbentuknya  qaryah thayyibah. Secara mudah qaryah thayyibah dapat dipahami  sebagai sebuah konsep masyarakat ideal.
      Dalam catatan M. Natsir bahwa titik tolak mewujudkan qaryah thayyibah adalah menjawab panggilan Alloh dan Rasul-Nya, setelah Alloh memanggil kepada apa-apa yang menghidupkan seperti yang termaktub dalam Surat Al-Anfaal ayat 24. Jadi tujuan atau wijhahnya adalah mencari keridhoan Ilahi.
     Masih menurut M. Natsir terdapat gambaran tentang situasi qoryah thayyibah yang hendak dibangun sebagai berikut:
1.      Kita tidak menghendaki masyarakat yang anggota-anggotanya “bebas-lepas” dalam arti liar centang-perenang”.
2.      Kita tidak menghendaki satu masyarakat yang dikerahkan dihalau hi;lir mudik ibarat hewan, dimana martabat dan harkat manusia hilang sama sekali.
3.      Kita berikhtiar menggali, memobilisasi dan mengembangkan tenaga dan sumber-sumber yang terpendam, baik berupa tenaga dan kecakapan manusia, ataupun berupa kekayaan alam, untuk kemanfaatan sebesar mungkin bagi masyarakat sebagai keseluruhan dan para anggota dan para perseorangan.
4.      Kita berikhtiar membina satu masyarakat yang tersusun dan tertib. Bukan dengan tekanan disiplin dari luar, akan tetapi atas kemampuan para anggotanya mengendalikan diri sendiri, dan keinsafan bahwa di samping ada hak-hak asasi yang dapat dinikmati,ada kewajiban-kewajiban asasi yang harus dipenuhi oleh tiap-tiap anggota masyarakat.
5.      Kita berikhtiar membina masyarakat yang para anggotanya bukan saja menikmati rizki yang dihasilkan bersama secara adil, tetapi juga turut serta dan turut bertanggung jawab dalam membina kehidupan masyarakat yang diridhoi Alloh.
6.      Kita berikhtiar membina masyarakat dimana para anggotanya bukan berebut hidup di atas dasar-dasar “siapa kuat siapa diatas, siapa lemah siapa tertindas”. Akan tetapi suatu masyarakat dimana para angggotanya “hidup dan memberi hidup”, bebas dari rasa takut dan tekanan batin.
7.      Kita berikhtiar membina masyarakat yang berkeseimbangan kemakmuran lahir dan kesejahteraan batinnya; dimana ilmu dan budi, amal dan ibadah, ikhtiar dan doa, kesemuanya berjalan dan berjalin.
       Menurut Ali Nurdin dalam bukunya yang berjudul Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, dinyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik masyarakat ideal. Ciri-ciri umum terdiri atas:
1.      Beriman
2.      Amar Ma’ruf
3.      Nahi Munkar

       Masih menurut Ali Nurdin masyarakat ideal disamping memiliki ciri-ciri umum juga memiliki ciri-ciri khusus yang terdiri atas :
1.      Musyawarah
2.      Keadilan
3.      Persaudaraan
4.      Toleransi

       Sebuah ayat yang biasanya dijadikan pijakan dalam pembicaraan tentang qaryah thayyibah adalah Surat Al-A’raaf ayat 96, artinya :
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
       Dari ayat tadi maka dapat dipahami bahwa syarat terbentuknya qaryah thayyibah itu adalah iman dan takwa. Dari landasan normatif tersebut maka secara operasional menurut Fuad Amsyari maka seyogyanya suatu wilayah dapat menjadi qaryah thayyibah jika memenuhi tiga syarat :
1.      Adanya kepemimpinan yang Islami.
2.      Adanya peraturan-perundangan yang Islami.
3.      Adanya praktik budaya masyarakat yang Islami. 

VI. Kesimpulan
       Dari uraian di muka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1.      Pemberdayaan masyarakat berbasis masjid dapat dipahami sebagai sebuah proses untuk menjadikan masyarakat punya kompetensi keilmuan, attitude, dan ketrampilan untuk mandiri.
2.      Agar masjid dapat menjadi medium pemberdayaan masyarakat hendaknya masjid dikelola oleh orang-orang yang berkhidmat pada pelayanan umat melalui masjid dengan managemen yang efisien dan efektif baik dalam aspek idarah, imarah maupun ri’ayah.
3.      Usaha pemberdayaan masyarakat barbasis masjid hendaknya melibatkan masyarakat (jamaah masjid),  dunia usaha, dan pemerintah desa.
4.      Qaryah Thayyibah hendaknya menjadi visi dari pemberdayaan masyarakat berbasis masjid.
      

DAFTAR PUSTAKA

Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Abdul Fatah, Rohadi. 2010. Manajemen Pemberdayaan Masjid. (Jakarta: Kencana Mas).
Nurdin, Ali. 2006. Qur’anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Erlangga).
Natsir, Muhammad. 2010. Di Bawah Naungan Risalah. (Jakarta: PT Abadi).
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan. (Yogyakarta: Gaya Media).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar