www.masjidnurulfalaah.blogspot.com

Takmir Masjid Nurul Falaah desa Kedungpuji - Gombong, Takmir masjid adalah pelayan ummat - - Takmir Masjid Nurul Falaah desa Kedungpuji - Gombong, Takmir masjid adalah pelayan ummat

Kamis, 08 September 2011

FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI ERA DEMOKRASI: TANTANGAN DAN PELUANG


Oleh : Bambang Purwanto, S.Ag.
1. Pengantar
Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam adalah kewajiban atas seluruh umat Islam. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin agar mendakwahkan Dinul Islam dan selanjutnya menegakkannya melalui dakwah dan jihad. [1]Dakwah adalah kegiatan yang dilaksanakan jama’ah Muslim (lembaga-lembaga dakwah) untuk mengajak umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan sehingga Islam terwujud dalam kehidupan fardiyah, usrah, jama’ah dan ummah sampai terwujudnya tatanan khaira ummah.[2] Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.[3]
 Al-Qur’an adalah kitab dakwah ini. Agar kita dapat memperoleh energi Al-Qur’an, mengetahui hakikat gelora yang tersembunyi di dalamnya, dan mendapatkan nasihat yang tersimpan untuk umat Islam di setiap generasi, sepatutnya kita menghadirkan di dalam visi kita tentang eksistensi generasi Islam pertama yang menjadi obyek sasaran Al-Qur’an untuk pertama kali.[4] Generasi awal Islam tersebut dengan karunia Alloh telah berhasil mendirikan sebuah negara di Yatsrib yang kemudiaan dikenal sebagai negara Madinah dengan konstitusi Madinahnya.[5]
Jika dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu.[6] Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya. Rupa-rupanya antara dakwah dan tantangannya sudah senyawa.  
 Sejak masuknya Islam ke negeri ini pada akhir abad pertama  atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai sistem hukum yang menghendaki kekuasaan negara kemudian dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di berbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin  berbeda bahwa “Adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.[7]  
Serbuan kolonialisme, baik di seluruh dunia Islam maupun secara khusus di kepulauan Nusantara, dengan kepentingannya untuk melucuti peran sosial-politik Islam, membawa gangguan pada sistem religio-politik tradisional. Upaya untuk menghalau Islam dari ruang publik berarti penolakan terhadap premis-premis orisinal dari sistem politik yang berbasis keagamaan. Gangguan dan keterputusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari sekularisasi politik.[8]
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus dilanjutkan oleh rezim-rezim pemerintahan pascakolonial. Hal ini utamanya disebabkan oleh watak elit politik negeri ini, yang hingga belum lama berselang tidak pernah menunjukkan komitmen yang terbuka terhadap Islam. Sebagian besar dari generasi pertama elit politik berpendidikan tinggi dan perwira militer berasal dari lingkungan priyayi yang ter-Barat-kan atau dari latar Protestan, Katolik, dan sinkretik (abangan) dalam orientasi keagamaannya. Minoritas elit terhormat ini, karena eksposnya yang tinggi terhadap ide-ide Barat dan permusuhannya yang panjang terhadap elit-elit berorientasi Islam, cenderung mempertahankan afiliasinya dengan politik yang berorientasi sekular dalam oposisinya terhadap ide negara Islam.[9]
Menurut catatan Fuad Amsyari bahwa setelah masa kemerdekaan terselesaikan lalu terjadi kemelut khususnya menyangkut ideologi mana yang dijadikan acuan untuk mengisi kemerdekaan itu. Karena mayoritas bangsa pada saat kemerdekaan diperkirakan masih 95% lebih adalah muslim maka kemelut itupun banyak berasal dari kalangan muslim sendiri, khususnya pertentangan antara golongan umat yang berbeda pemahaman Islamnya oleh pengaruh non-Islam ke dunia pemikiran Islam. Proses ini nampaknya terus berjalan hingga sekarang.[10]
Tulisan sederhana ini akan memaparkan perjalanan panjang perjuangan umat Islam untuk memasukkkan syariat Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh sejumlah Muslim yang akan menetapkan syariat Islam melalui institusi negara dan sejauh mana peluang yang diberikan oleh iklim demokrasi yang ada di Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh Muslim untuk menggolkan usaha penegakkan syariat Islam dalam lingkup negara itu.
II. Perjuangan Memasukkan Syariat Islam Kedalam Konstitusi dan Undang-Undang
     Indonesia
Dalam bagian ini tentu tidak dapat dilupakan mengenai Piagam Jakarta. Piagam dalam bahasa Indonesia antara lain berarti surat resmi yang berisikan pernyataan dan peneguhan atau ikrar mengenai suatu hal. Piagam Jakarta adalah sebuah surat resmi yang disepakati oleh wakil-wakil bangsa Indonesia yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena ditandatangani di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, maka ikrar tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta.[11]
Adapun panitia kecil yang menyetujui Piagam Jakarta  adalah : Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Soebarjo, Maramis, Muzakkir, Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Dan rumusan Piagam Jakarta secara lengkap adalah sebagai berikut : “Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Alloh Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannnya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewaiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[12] 
Piagam Jakarta adalah jalan tengah yang dipilih oleh para pendiri bangsa terhadap dua aliran besar yang berakar dalam sejarah Indonesia, apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau kebangsaan. Penelitian tesis almarhum Endang Saifuddin Anshari di McGill University (Kanada) pada tahun 1976 menyebut Piagam Jakarta sebagai a gentleman agreement  (perjanjian antara sesama lelaki yang jantan), yaitu unsur-unsur islamis dan nasionalis.[13] Seperti dituturkan oleh Moh. Room, kelompok nasionalis di sini bukan berarti bahwa mereka anti Islam dan tidak beragama Islam, dan kelompok islamis tidak berarti tidak berjiwa kebangsaan. Kedua kelompok adalah sama-sama bersemangat nasionalis dan umumnya beragama Islam, tetapi kelompok nasionalis lebih tertarik untuk menjadikan kebangsaan sebagai dasar negara daripada Islam. Banyak faktor yang membuat kelompok nasionalis berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang Islam politik dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang benar. [14]
Kedudukan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara RI (UUD 1945) sudah amat jelas. Secara historis, Piagam Jakarta adalah produk kompromis antara berbagai aspirasi ideologi di Indonesia. Secara yuridis, Piagam Jakarta juga telah berlaku dan menjadi sumber hukum sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, masalah pelaksanaan syariat Islam di Indonesia secara hukum juga sudah merupakan barang yang legal dan sah yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi menyangkut hukum-hukum yang memang sangat khas bagi orang Muslim, seperti hukum perkawinan, hukum waris, hukum wakaf, hukum zakat, hukum haji, hukum makanan halal, dan sebagainya. [15]

III. Tantangan Bagi Usaha Formalisasi Syariat Islam
Tidak ada perjuangan yang sukses dan mulus. Hebatnya tantangan berarti menunjukkan benarnya arah perjuangan. Demikian juga dalam usaha formalisasi syariat Islam tersebut. Baik berupa paham-paham yang berasal dari Barat maupun dari lokal. Seperti sekularisme, liberalisme, dan nativisme. Dan tantangan struktural yang cenderung masih didominasi oleh kalangan sekular. Serta opini publik yang terbentuk melalui media massa yang tidak memihak kepada usaha penerapan syariat Islam.[16]
Sekularisme adalah suatu paham atau aliran dalam kehidupan yang memisahkan  agama/wahyu dari kehidupan duniawi. Jelasnya nilai-nilai  agama/wahyu tidak boleh dibawa-bawa untuk diperankan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan masyarakat dan negara. Karena menurut pikiran orang-orang sekular, agama hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedang persoalan bermasyarakat dan bernegara urusan bersama dari seluruh anggota masyarakat dan warga negara.[17] Selanjutnya, sekularisme menurut M. Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: kotak dunia dan kotak spiritual, dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual.[18]
Masih menurut Yudi Latif bahwa proses pemisahan agama dan politik di Indonesia, tidaklah persis seperti apa yang terjadi di banyak negara-negara Barat. Sekularisme dalam konteks Indonesia tidaklah berarti inkonsistensi dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan boleh jadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional. Rezim-rezim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintahan  telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyifati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.[19]
Selanjutnya tentang liberalisme seperti yang dikatakan oleh Syamsuddin Arif adalah sebuah paham yang mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas atau free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran atau sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion).[20]
Di kalangan orang Barat berangkat dari kebebasan inilah mereka lepaskan kontak dengan Allah dalam mengumbar nafsu. Makan minum barang haram bebas. Pergaulan laki-laki dan perempuan bebas. Homosex dan lesbian bebas. Perjudian dan barang riba bebas. Jadi berbagai ketentuan wahyu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dibuat menjadi bebas.Mereka sudah tidak berpikir lagi tentang kelanjutan hidup di alam akhirat. Begitulah konsep kebebasan yang dijadikan dasar kehidupan dalam budaya Barat.[21]
Pada zaman modern ini, banyak kaum terpelajar kita yang terkagum-kagum dengan pemikiran  yang datang dari Barat untuk menggantikan Islam. Jika ditelusuri, diketahui bahwa hal itu berawal sejak masuknya penjajah Barat ke negara-negara Muslim. Imperialis Barat tidak hanya merampas kekayaan alam negara-negara Muslim, tetapi juga merampas akidah, mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh dibilang berhasil. Pasalnya, mereka betul-betul membeo dan mengekor ke Barat, tidak hanya dalam hal teknologi yang masih bisa ditolerir, tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, berupa cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya.[22]
Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan paham-paham Barat melalui buku, tulisan di media massa, serta diskusi dan ceramah di kampus. Bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang memukau dan menjanjikan sesuatu yang baru nan indah. Target mereka adalah umat Islam keluar dari keislamannya sebagaimana Barat meninggalkan agamanya.[23] Mereka sering merelatifkan pendapat ulama (ijtihad). Apa saja pendapat ulama yang tidak sesuai dengan selera mereka atau selera masa kini, langsung mereka vonis bahwa itu hanya sekadar pendapat ulama terdahulu yang belum tentu relevan untuk diterapkan pada masa kini. Padahal mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur’an, tidak mengerti hadits, serta tidak memahami kitab-kitab turats (klasik), tetapi mau mengarungi samudera luas. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan.[24]
Seperti yang dinyatakan oleh Adian Husaini bahwa hegemoni orientalis Barat dalam studi Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Berbagai keanehan dan kemungkaran dalam dunia ilmu keislaman telah bermunculan dari tubuh berbagai perguruan tinggi Islam. Tidak sedikit orang-orang yang belajar ilmu-ilmu Islam kemudian justru menjadi penentang Islam yang tangguh dan aktif melakukan dekonstruksi (penghancuran) konsep-konsep dasar Islam. Kemungkaran ilmu bukanlah kemungkaran yang ringan, karena berdampak sangat serius dalam amal perbuatan.[25]
Menurut Fuad Amsyari untuk menyelamatkan umat Islam dan bangsa ini dari arus pembaharuan Islam yang destruktif perlu strategi sebagai berikut :[26]
a.       Mengusahakan agar para kyai dan ulama serta sistem pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan IAIN tidak terjerumus pada pengajaran ritual, filsafat, dan kegahiban belaka, apalagi jika sampai berlebihan melewati batas ajaran Alloh sehingga menjadi bid’ah dan syirik. Mereka seharusnya lebih mendalami  dan mengajarkan prinsip sosial Islam melalui kajian al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Ulama Salaf yang sarat akan prinsip-prinsip sosial itu dan segera bersikap korektif terhadap gejala sosial salah yang tampak di sekitarnya.
b.      Mengajak sungguh-sungguh para intelektual dan penguasa/pejabat muslim agar tidak lupa daratan, merasa lebih pandai dan lebih kuasa dari Alloh hanya karena belajar sedikit ilmu pengetahuan dan mendapat sedikit kekuasaan yang dipegangnya lalu berani memakzulkan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial. Islam harus kembali dianggap sebagai teknologi membangun manusia, masyarakat, bangsa, dan negar, bukan hanya sekedar ajaran akhlak atau ritual belaka.
c.       Seluruh aktivis Islam harus berusaha keras merubah sistem sosial mereka menjadi sistem sosial yang Islami sesuai dengan tuntunan Alloh. Jangan hendaknya aktifitas Islamnya hanya sebatas ingin merubah orang per orang. Teknologi merubah masyarakat atau sistem sosial harus secepatnya dikuasai dan ditrampilkan, khususnya dalam tiga hal yang penting, yakni: 1). Ketrampilan untuk mengganti pimpinan suatu kelompok sosial dari pimpinan yang tidak berorientasi pada Islam menjadi pimpinan yang memahami dan berhak pada tuntunan Islam, 2). Kemampuan dan ketrampilan aktivis Islam merubah kebijakan sosial dan perundang-undangan yang menyalahi prinsip Islam menjadi kebijakan dan perundang-undangan yang selaras dengan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial; dan 3). Kemampuan dan ketrampilan untuk merubah budaya yang melanda masyarakat dari budaya syetan menjadi budaya yang sesuai dengan tuntunan Alloh.
d.      Menyadarkan para ‘pembaharu’ yang membawa pada pengaburan makna Islam dan merelatifkan isi ajaran Islam itu untuk kembali pada ajaran Islam yang baku sesuai dengan pemahaman jumhur ulama. Hendaknya mereka tidak mudah putus asa oleh sedikit tekanan pihak yang tidak mengerti Islam atau memusuhi Islam dengan cepat-cepat memberi makna lain tentang Islam. Bila mereka tetap teguh dengan ajaran Islam yang benar dan mau bersatu bersama teman-teman seperjuangannya yang lain insya Alloh mereka akan berhasil menjadi pemimpin Islam yang dihormati dihargai umat dan sekaligus akan menjadi pemimpin bangsanya pada masa pasca modern. 
Peningkatan jumlah kasus aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa yang mengemuka, maraknya hamil di luar nikah, dan kumpul kebo adalah bukti-bukti dari maraknya kehidupan yang permisif.[27] Memang ada kecenderungan di kalangan masyarakat negeri ini bahwa praktik perzinahan merupakan hal yang dianggap biasa. Di tambah secara juridis, seperti pendapat Adian Husaini bahwa bangsa ini masih lebih senang menjadi antek kolonial Belanda, yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang terikat dengan perkawinan yang bisa disebut sebagai pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/istri (pasal 284 KUHP). [28]
Persoalan pokok di bidang sosial-budaya yang dihadapi oleh umat Islam adalah dampak dari masyarakat industrial. Salah satunya ialah dengan munculnya nativisme. Nativisme adalah kepercayaan dan anutan-anutan yang dianggap berasal dari nenek moyang yang dilestarikan secara turun temurun.[29]Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan yang dikenal sebagai “warisan nenek moyang” dan kesederhanaan berfikir, dan bukan dari sifat-sifat tercela yang membuat penganutnya jauh dari cahaya ilahi. Tidak semua warisan nenek moyang itu perlu ditinggalkan, selama tidak bertentangan dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang seperti itu dapat saja dilestarikan. Bahkan dapat dikembangkan secara baik-baik dengan jiwa baru, yakni jiwa Islam.[30]
Terdapat hubungan kepentingan yang erat antara sekularisme dan nativisme. Hal ini terjadi karena gerakan nativisme menawarkan suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama dari cita-cita sekular. Spriritualisme-nativisme sampai batas tertentu mempunyai raison d’etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi psikologis terhadap perasaan tidak aman warga masyarakat industrial.
Terhadap nativisme, Islam mempunyai kepustakaan yang panjang yang mengungkap ketinggian spiritualitas Islam, sehingga secara teoritik sebenarnya ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasi persoalan spirituaisme itu. Demikian pula secara empirik, sifat-sifat paguyuban dari nativisme yang rindu pada masyarakat kecil, dan hubungan dekat, misalnya, akan dapat dipenuhi. Justru persoalan yang tersulit dalam menghadapi nativisme adalah masalah kelembagaan.[31] Tetapi karena sudah tersedia sumber daya kelembagaan dan manusia, persoalannya tinggal bagaimana mendekatkan para penganut nativisme pada lembaga-lembaga itu. Perlu diusahakan semacam sarasehan atau pertemuan tatap muka antara mereka dengan penganut tarekat dan ahli-ahli tasawuf. Meskipun pertemuan personal  akan lebih penting bagi para penganut nativisme, sebab kebanyakan mereka hidup dalam lingkungan tertutup dan jauh dari sumber bacaan. Jadi mereka lebih percaya pada hubungan personal daripada hubungan impersonal melalui bacaan.[32]
Nativisme kebanyakan didukung oleh keturunan priyayi (aristokrat) yang kemudian menjadi birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya Islam. Karena jarak sosial antara priyayi dan santri semakin dekat, maka dapat diharapkan bahwa perkemb-angan sejarah sendiri akan cenderung untuk menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. Proses yang natural ini akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif . Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju kearah ini patut dikembangkan, sekalipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan dakwah.[33]

IV. Peluang Formalisasi Syariat Islam dalam Iklim Demokrasi di Indonesia
Menurut Daud Rasyid tentang peluang untuk menerapkan syariat Islam, mengharuskan kita untuk memandang peluang itu dari berbagai sudut dan tinjauan. Yakni dari aspek politik, birokrasi, dan kesadaran masyarakat Islam.
Tentang peluang politik dalam usaha formalisasi syariat Islam diuraikan lebih jauh oleh Daud Rasyid bahwa peluang tersebut adalah peluang yang sangat strategis. Dengan adanya kemauan politik, perubahan dengan mudah dapat dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim seperti ini pernah dirasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Kekuaasaan terpusat di tangan satu orang yang bergelar presiden. Suara-suara rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan presiden dianggap sebagai penentang yang akan menggulingkan kekuasaan yang sah (subversi).[34]
Selama kepemimpinan Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan nuansa negatif. Isu Piagam Jakarta digambarkan sebagai momok menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali Piagam Jakarta dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya atau lebih  populer dengan sebutan “ekstrim kanan”. Akhirnya betapapun rakyat Indonesia yang Muslim ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan   buntu.[35]
Peluang berikutnya adalah dari kalangan birokrasi. Jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka untuk para aktivis Islam sesudah terjadi reformasi. Padahal sebelumnya, para aktivis Islam itu hanya berada dalam posisi pinggiran dan tidak setrategis. Bahkan, sering-sering gara-gara keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam, mereka kehilangan posisi.
Oleh karena itu sekarang tinggal bagaimana para tokoh umat Islam itu mampu memanfaatkan posisi yang Alloh amanahkan kepada mereka, terutama untuk merancang penerapan syariat. Dengan memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana-sarjana hukum yang ada di berbagai wilayah, sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang yang bernafaskan Islam di wilayah masing-masing. Paling tidak, pekerjaan besar ini sudah bisa dicicil dari sekarang.
Kemudian yang tidak dapat dianggap kecil adalah tingkat kesadaran masyarakat Islam itu sendiri. Seperti tumbuhnya semangat cinta Islam khususnya kalangan muda dan terpelajar. Kajian dan dakwah Islam sangat marak di hampir seluruh kampus di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini cukup menggembirakan karena potensi yang dimiliki kaum muda dan terpelajar merupakan salah satu syarat penegakkan syariat.
Ada fenomena lain terutama berkaitan dengan tingkat pemahaman keagamaan. Kecenderungan baru itu, justru terjadi di kampus-kampus umum. Misalnya jika bertemu dengan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau menantang bola mata lawan bicaranya. Juga yang berkembang di kalangan para profesional. Kaum profesional berdasi sudah tidak sungkan lagi berdiskusi tentang masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di kantornya masing-masing.
Dalam catatan Topo Santoso di era otonomi juga muncul aspirasi penegakkan syariat Islam di berbagai daerah. Meski demikian, cakupan dan materi yang diperjuangkan itu berbeda-beda sesuai dengan faktor historis, yuridis, sosiologis, dan konfigurasi politik di masing-masing daerah. Aceh, misalnya, menempati cakupan yang paling luas dibanding daerah lain, sesuai keistimewaan daerah yang dilandasi UU tentang Keistimewaan Aceh dan RUU Nanggroe Aceh Darussalam (RUU NAD) yang telah disetuji oleh DPR.[36]     





















V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan keberadaan Piagam Jakarta secara yuridis maka formalisasi syariat Islam di Indonesia adalah sah secara hukum sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi aspek legalitasnya.
2.      Beberapa tantangan terhadap usaha penegakkan syariat dalam lingkup negara adalah berasal dari kalangan sekular yang terbaratkan dan juga para pendukung nativisme.
3.      Adapun peluang untuk formalisasi syariat islam terdiri dari peluang politik, birokrasi, dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap Islam yang semakin meningkat di berbagai kalangan.





DAFTAR PUSTAKA
Awwas, Irfan Suryahardi. 2002. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. (Yogyakarta: Wihdah Press).
Al-Ghadban, Munir. 1992. Manhaj Haraki. (Jakarta: Robbani Press).
Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press).
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 2007. Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
Husnan, Ahmad.tt. Tantangan Penerapan Syariah Islam. (Surakarta: Isy Karima).
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2001. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
____________. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Khairul Bayan).
Luth, Thohir. 2005. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. (Jakarta: Gema Insani Press).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. (Yogyakarta: Jalasutra).
Qutb, Sayyid. 2008. Fiqh Pergerakan. (Yogyakarta: Uswah).
Rasyid, Daud.  2006. Reformasi Republik Sakit. (Bandung: Syamil).
___________. 2006. Pembaharuan Dan Orientalisme Dalam Sorotan. (Bandung:Syamil).
Suneth, A. Wahab dan Syafruddin Djosan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).
Saifuddin Anshari, Endang. 1997. Piagam Jakarta. (Jakarta: Gema Insani Press).
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).




[1]Irfan Suryahardi Awwas, “Pedoman Mengamalkan Islam Menurut Qur’an dan Sunnah” dalam Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2003), hlm. 225.
[2] A. Wahab Suneth dan Syafruddin Djosan, Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000), hlm. 8.
[3] Ibid., hlm. 9.
[4] Sayyid Qutb, Fiqh Pergerakan, (Yogyakarta: Uswah, 2008), hlm.18.
[5] Abdul Karim Zaidan, Rakyat dan Negara Dalam Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 1984), hlm. 12 dan Munir Al-Ghadban, Manhaj Haraki, (Jakarta: Robbani Press, 1992) hlm. 169.
[6] Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit, (Bandung : Syamil, 2006), hlm. 132.
[7] Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), hlm. 108-109.
[8] Yudi Latif, Dialektika Islam : Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 12.
[9] Ibid., hlm. 16.
[10] Fuad Amsyari, Islam Kaffah:Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 156-157.
[11] Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum..., hlm. 106.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 29-30.
[13]Ibid.,  hlm. 11.
[14] Rifyal Ka’bah, Politik..., hlm. 107.
[15] Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusi Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,2009), hlm. 73-74.
[16] Daud Rasyid, Reformasi...., hlm. 114.
[17] Ahmad Husnan, Tantangan Penerapan Syariah Islam, (Surakarta: Isy Karima,tt), hlm. 186.
[18] Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 116.
[19] Ibid., hlm. 19.
[20] Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 79.
[21] Ahmad Husnan, Tantangan Penerapan.., hlm. 220.
[22] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syamil, 2006), hlm. 2-3.
[23] Ibid., hlm. 4.
[24] Ibid., hlm. 8.
[25] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 28.
[26] Fuad Amsyari, Islam Kaffah...., hlm. 165-166.
[27] A. Wahab Suneth dan Syafruddin Djosan, Problematika ...., hlm. 73.
[28] Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 46.
[29] Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2007), hlm. 10.
[30] Ibid., hlm 13.
[31] Ibid., hlm. 11.
[32] Ibid., hlm. 12-13.
[33] Ibid., hlm. 13-14.
[34] Daud Rasyid, Republik...,hlm. 110.
[35] Ibid
[36] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 105.